Sinar mentari pagi mulai menyinari Jakarta. Jam tanganku
sudah menunjukkan pukul 08.40 dan tidak ada tanda-tanda bahwa mobil di depanku
akan maju dalam waktu satu menit ke depan. Memang salahku, bangun kesiangan,
tapi bukankah hari Senin adalah hari yang penuh kesialan? Hari pertama masuk
kerja dan hari penting bagiku, karena hari ini untuk pertama kalinya aku akan
menangani proyek besar, pembangunan mall
ternama di Jakarta. Sedangkan di sinilah aku, berjuang mengarungi lautan mobil
yang diam tak kunjung bergerak barang sedikit pun.
Nada dering untuk pesan masuk berbunyi, mengalihkan
perhatianku dari padatnya jalanan pagi ini.
Maaf, Bapak Tanaka,
nantinya Anda tidak bisa langsung membicarakan proyek ini dengan CEO kami melainkan
dengan saya. Beliau sudah menunggu selama 30 menit tapi Anda tidak kunjung
datang, sehingga beliau mengutus saya untuk menangani proyek ini dikarenakan
beliau juga ada janji lain yang tidak kalah penting. Maaf untuk ketidaknyamanan
ini. Saya mohon Anda nanti ke Meeting Room yang ada di lantai 5 kantor kami.
Saya tunggu kedatangan Anda. Semoga Anda tidak membatalkan kerja sama ini.
Terima kasih. Darian.
Dengan membaca pesan tersebut, rasanya ingin bisa menjadi
superman supaya aku bisa langsung
terbang bebas tanpa hambatan. Semoga saja, aku tidak dipecat oleh temanku
sendiri gara-gara masalah ini.
Sambil menyelam minum air, itulah yang sedang kulakukan
sekarang. Seraya berjalan cepat melewati lobi yang ya-Tuhan-luas-sekali, aku
pun merapikan dasi dan kerah kemeja.
Bruuuk!
Naas, kemeja favoritku menjadi sasaran utama jatuhnya
secangkir kopi. Dalam waktu sekejap semua kegiatan di lobi terhenti dan
pandangan tertuju ke arahku. Namun, tidak berapa lama kemudian keramaian
kembali menenggelamkan suara kami.
“Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Maafkan saya —” kata seseorang yang kuyakini sebagai tersangka atas
kejadian ini.
“Tidak apa-apa, aku yang salah tidak memperhatikan jalan.
Mari,” jawabku tenang, meskipun rasanya ingin berteriak meneriaki semua orang.
Dengan tangan bebas, kuambil tissue yang selalu ada di tas kerjaku dan
membersihkan noda kecoklatan bekas kopi yang tumpah tadi.
Tanpa membuat perkara tersebut lebih panjang lagi, aku
pun kembali melangkah dengan cepat menuju lift yang hampir tertutup.
“Terima kasih,” kataku kepada seorang wanita yang menahan
pintu lift tadi dan memberiku ruang, mempersilakan aku untuk ikut masuk. Tangan
kananku yang tadinya ingin menekan tombol lima berhenti di udara, karena
ternyata kami menuju lantai yang sama.
Dia hanya menoleh sedikit dan membalas dengan senyuman
yang tak sampai ke mata. Merasa bahwa lawan bicaraku diam, aku pun mengambil
langkah, “Wah ternyata kita menuju lantai yang sama. Namaku Aga,” kataku
memperkenalkan diri sambil menawarkan tangan.
“Arleen,” jawabnya singkat lalu menerima uluran tanganku.
“Arleen,” panggilku seolah sudah kenal dekat, “boleh, kan
aku panggil namamu langsung?” tanyaku meminta persetujuan saat melihat raut
muka ketidaksukaan yang dia tampakkan saat aku memanggil namanya. Dia
mengangguk, tanpa menjawabnya. “Kamu kerja di sini?” lanjutku, sambil
melanjutkan mengusap-usap bagian depan kemejaku yang kotor.
“Iya,” jawabnya singkat. Sepertinya dia bukan tipe orang
yang suka bicara pada orang asing dan aku termasuk orang asing baginya, maka
dari itu untuk membuat dia nyaman, kubiarkan keheningan tercipta di antara kami
sampai lift berhenti di lantai lima.
Kami berdua keluar bersamaan dan masing-masing menuju
arah yang berbeda. Aku pun dengan gembira melangkah ke arah ruangan yang tepat
berada di seberang pintu lift bertuliskan meeting
room. Oh betapa mudahnya menemukan ruangan tersebut di gedung perkantoran
sebesar ini. Awalnya kukira kantor yang dimaksud untuk pertemuan kami adalah di
mall tetapi ternyata mereka memiliki
gedung khusus untuk kegiatan perkantoran mereka. Betapa kayanya pemilik mall ini.
Seseorang menepuk pundakku bahkan sebelum tanganku
berhasil menyentuh kenop pintu. “Maaf, Anda Bapak Tanaka?” tanya seorang wanita
dengan name tag Riana.
“Iya, ada apa ya?” tanyaku keheranan, sedangkan dia
membalasku dengan senyuman.
“Maaf, Pak. Tadi saya diberi pesan untuk mengantarkan
Anda ke ruangan beliau jika Anda sudah datang. Mari saya antarkan.”
Aku pun dengan patuh mengikutinya sampai ke sebuah
ruangan bertuliskan Arleen Darian. Arleen? Bukankah wanita yang tadi di lift
bersamaku bernama Arleen? Bukankah Darian adalah wakil CEO yang berhubungan
denganku melalui email membicarakan masalah kerja sama pembangunan ini?
Menjawab kebingunganku, duduklah dia di sana, di balik meja kebesarannya.
“Selamat pagi, Bapak Tanaka. Perkenalkan saya Arleen
Darian yang akan mewakili Heavenly dalam proyek pembangunan ini,” sambutnya
dengan senyuman yang sekali lagi, tidak sampai ke mata.
Hari ini sudah kutetapkan sebagai
hari tersialku! Bahkan sejak awal kami bertukar pesan lewat surat elektronik,
dia tidak mengoreksi saat aku menuliskan
‘pak’ untuk menyapanya. Salah dia hanya menyisipkan tanda tangan yang terbaca
Darian saja di setiap akhir surat. I am
so dead!
Tiga bulan berlalu sejak kedatanganku di ruangan Arleen.
Kami rajin bertukar pesan membicarakan masalah pekerjaan. Tanpa kusadari makin
lama aku juga makin tertarik padanya. Seperti saat ini, melihatnya duduk dengan
santai di hadapanku meneguk secangkir teh hijau di sela-sela pembicaraan serius
kami membuatku merasa nyaman dan tenang. Untuk masalah nama belakangnya, dia
sudah memberitahuku ketika awal pertemuan kami bahwa memang banyak orang salah
mengira, sama sepertiku, dan dia sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Sebenarnya dia menyematkan A. Darian di bawah tanda tangan elektroniknya, tapi
siapa kira A untuk Arleen? Semacam J.K Rowling, bukan? Dahulu sebelum dia
terkenal di media seperti sekarang, apakah orang dapat menebak bahwa dia
perempuan hanya dengan membaca namanya?
“Pak Aga?” panggilnya menyelamatkanku dari lamunan. Ya,
aku memang sering tertangkap basah ketika sedang mengamatinya dalam diam.
“Ada apa? Dan sepertinya aku sudah pernah bilang, ketika
kita tidak sedang di kantor kamu boleh memanggilku Aga, Arleen, tanpa embel-embel
pak di depannya,” jawabku panjang lebar, yang sebenarnya sangat out of topic.
“Maaf, Pak Aga, saya tidak terlalu nyaman seperti itu,”
jawabnya yang seketika membuatku kecewa. Aku pun hanya tersenyum. “Apakah kita
sudah selesai?”
“Apanya yang sudah selesai, Arleen, bahkan kita belum
jadian,” candaku. Seperti biasa, cara ini tidak berhasil. Sudah beberapa kali
aku mencoba memberi kode padanya dengan candaan-candaanku yang bisa dibilang garing ini, tapi tidak ada satu pun yang
termakan olehnya. Entah aku yang memang hopeless
romantic atau dia yang kurang peka.
Melihat tingkahnya yang ingin segera pergi membuatku
menyerah dan berkata, “Iya, pertemuan kali sudah selesai. Sampai bertemu lagi,
Arleen.” Tanpa menunggu waktu lama, dia pun segera mengambil dompetnya. Namun
sebelum mengeluarkan selembar uang, aku segera menahan tangannya, “Biar aku
saja, Arleen, man pays the bill.”
“Tapi, Pak —”
“Kamu melukaiku, Arleen,” kataku dengan memasang raut
muka kecewa. Namun melihatnya mengangguk seketika raut mukaku berubah dan itu
membuatnya mendesah. Menyadari tanganku yang masih saja menggenggam pergelangan
tangannya, membuatku langsung melepaskannya meskipun tidak rela.
Sebelum dia berhasil berdiri dari posisi duduknya, aku
menahannya lagi, untuk yang kesekian kali, “Arleen, besok malam kamu kosong?”
Dia pun menghentikan niatnya untuk berdiri dan kembali
duduk. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia menjawab sebuah pertanyaan
dengan pertanyaan, “Memangnya ada apa, Pak?”
Aku pun mendesah pak
lagi pak lagi dan menjawab, “Aku ingin mengajakmu makan malam.”
Dia diam. Inilah yang kutakutkan, ia akan menolakku. Tapi
sudah aku bulatkan tekad bahwa aku harus menerima apa pun jawaban dia. Masih
tetap diam, dia pun beralih mengeser layar ponselnya, mengabaikanku. Mungkin
sedang melihat jadwalnya, pikirku. Belum genap semenit pun dia menjawab, “Maaf,
Pak, saya sudah ada janji.” Tidak bisakah dia berpikir lebih lama dan menjawab
‘ya’?
Ia menolakku. Hanya dengan enam kata itu, pupus sudah
harapanku saat itu. Aku bilang, saat itu. Karena ketika esok harinya saat kami
bertemu lagi, aku akan mencoba lagi, lagi, dan lagi, hingga dia mengiyakan
ajakanku.
Meskipun gagal mengajak Arleen makan malam hari ini, aku
tetap keluar. Seperti biasa, yang kulakukan setiap malam minggu, bertemu
beberapa teman lama hanya untuk sekadar mengobrol ala kadarnya. Aku dan
beberapa teman kuliahku sedang duduk dan mengobrol asyik di sebuah kafe saat
sosok yang kukenal lewat di depan kafe tempat kami nongkrong. Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku pun berpamitan
untuk pulang terlebih dahulu, hanya untuk membuntuti mereka.
Di sanalah aku melihat mereka. Di depan loket pembelian
tiket bioskop, mereka berdua terlihat adu pendapat tentang film apa yang akan
mereka tonton. Entah mengapa melihat mereka berdua beradu pendapat, yang malah
terlihat romantis, membuat hatiku nyeri seperti tertusuk duri.
Aku kalah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku
berhenti mengejar impianku dan melepasnya begitu saja, meskipun ada kata ‘tidak
rela’ yang tertahan di kerongkongan. Karena pada dasarnya seorang kakak tidak
akan pernah tega pada adiknya sendiri.
“Ga, kok kayaknya gue nggak pernah lihat lo jalan sama
cewek ya? Jangan-jangan lo homo lagi!” kata Adam padaku tiba-tiba pada suatu
sore.
“Sewot aja. Emang lo sendiri pernah jalan sama cewek?”
tanyaku sewot.
“Pernahlah, kemarin Sabtu baru aja gue nge-date sama
doi,” jelasnya yang langsung seketika itu juga membuatku teringat akan malam di
mana aku membuntuti mereka berdua, “Eh gimana kalo gue cariin, malulah gue
masak kakak gue dateng sendirian di acara nikahan gue gitu.”
“Nikah?! Yakin banget lo kalo dia mau lo nikahin,”
jawabku tak kalah sengit.
“Ih, kenapa hari ini lo sewot banget sih, Ga? Lagi mens
kali ya?”
“Iya! Udah minggir sana, gue lagi sibuk!” usirku, tak
ingin lagi mendengar cuap-cuapnya mengenai apa yang terjadi waktu malam minggu.
“Pokoknya gue bakal ngenalin lo sama sahabat gue. Mau
nggak mau lo harus mau. Titik!” katanya sebelum keluar dari kamarku.
Bagaimana aku mau kamu jodohkan, Dam, kalau yang aku
inginkan itu pacar kamu.
Semenjak mengetahui hubungan antara Adam dan Arleen, aku
pun hilang semangat setiap mendapat pesan masuk dari Arleen atau ketika bertemu
dengannya untuk urusan bisnis. Bahkan pada beberapa pertemuan, aku meminta
tolong salah satu dari keempat temanku untuk menggantikanku bertemu dengan
Arleen. Sebisa mungkin aku mencoba mengurangi intensitas komunikasi kami.
Untung saja, aku bekerja dengan keempat temanku dalam perusahaan yang kami
dirikan sendiri, ArchFive, sehingga kami tidak terlalu banyak memiliki
peraturan ketat kecuali masalah dateline pekerjaan.
Tapi, sayangnya hari ini adalah pertemuanku yang terakhir
karena aku sudah selesai mendesain mall sesuai
keinginan mereka, tinggal pembangunan yang selanjutnya akan dikerjakan oleh
temanku dan akan sangat tidak sopan bila aku menyuruh seseorang untuk
menggantikanku. Dengan berat hati, aku pun berangkat menuju ke kafe tempat kami
biasanya membicarakan proyek ini.
“Maaf saya terlambat,” sapaku di awal pertemuan kami hari
ini, yang sekaligus menjadi pertemuan terakhir kami. Ingin rasanya setelah ini
kami tidak bertemu lagi, meskipun hanya sekadar berpapasan. Tapi sepertinya hal
itu tidak dapat dikabulkan.
“Saya juga belum lama, kok, Pak Aga,” jawabnya dengan senyuman,
yang entah kenapa hari ini terlihat bebas dan tulus. Mungkinkah dia merasa
senang karena akhirnya kami bisa berhenti bertemu?
“Mari kita mulai diskusinya,” ajakku. Semenjak mengetahui
hubungan adikku dengannya, aku mengusahakan diriku sendiri untuk bersikap lebih
formal padanya. Pernah suatu kali, aku melihat raut keterkejutannya saat
mendengarku mengatakan sapaan-sapaan formal dan menggunakan ‘saya’ di sesi
diskusi padahal sebelumnya aku terbiasa dengan ‘aku.’ Semua itu kulakukan untuk
membatasi hubungan kami, atau lebih tepatnya membatasi diriku sendiri supaya
tidak terlalu jauh berharap padanya, yang nantinya dapat berdampak ada hubungan
kami ketika kami sudah resmi menjadi saudara ipar.
Diskusi serius kami terhenti begitu saja ketika sapaan
seseorang di belakangku menginterupsi. “Wah wah wah ternyata kalian sudah
saling kenal!”
“Adam, kamu kenapa bisa di sini?” tanya Arleen,
menampakkan raut senang yang sangat kentara. Bahkan denganku dia selalu dalam
mode ‘saya-Anda’ tapi sekarang?
“Aku mau menyapa kakakku,” jawab Adam bangga sambil
menepuk pundakku, “Ini kakakku, Linlin.” Bahkan mereka sudah punya panggilan
sayang.
Adam mempersilakan dirinya sendiri duduk di sebelah
Arleen bahkan tanpa perlu repot untuk meminta persetujuan kami. Tak lupa mengecup
pipi kekasihnya di hadapanku, yang seketika membuat mataku sakit. Mereka berdua
berbicara asyik, Arleen terlihat lebih lepas, dan Adam terlihat begitu
menyayangi Arleen. Menyadari bahwa kehadiranku hanyalah sebagai pemeran figuran
yang sudah tidak diperlukan lagi, aku pun berdeham untuk meminta perhatian
kedua pasangan yang sedang dilanda asmara lalu berpamitan untuk pulang duluan.
“Yah, Ga! Malah pulang duluan sih. Gue ke sini emang
nggak sengaja ngelihat kalian berdua. Disamperin malah sekarang ditinggal,”
kata Adam membuatku memutar bola mata.
“Ayolah, aku tidak ingin mengganggu kalian berdua. Aku
pergi dulu,” jawabku bersikeras untuk meninggalkan mereka.
“Lo kenapa sih, akhir-akhir ini ketus sama gue. Masak
mens lo nggak kelar-kelar sih,” komentar Adam yang seketika membuatku malu luar
biasa.
Mengacuhkan Adam, aku pun berkata, “Udah, gue tunggu
undangannya. Arleen, saya duluan.” Lalu mulai melangkah pergi.
“Undangan apaan sih?” tanya Adam dengan nada keheranan. Please tidak perlu bertingkah sok bego, Adam.
“Nggak tau, emang siapa yang mau nikah, Dam? Kamu?” tanya
Arleen balik, masih dengan suara lembutnya.
“Heh heh woy Ga, ngeloyor aja lo. Duduk lagi sini, gue
bingung. Siapa yang mau nikah sih? Orang gue baru aja putus,” kata Adam sembari
mendudukkanku kembali ke tempat semula, berhadapan dengan mereka.
Menghela napas dengan lelah, aku pun menjawab, “Ya,
undangan kalian berdua.”
Dua detik. Lima detik. Mereka saling berpandangan. Dan
.....
Brrrrr. Hahahahaha.
“Gue? Sama Linlin? Nggak bakal lah, Aga, abang gue
tercinta. Gue udah kapan kali kenal Linlin, udah kayak adek gue sendiri masak
gue nikahin. Incest dong gue.”
Mendengar itu, aku pun bertambah bingung. Kalau Arleen
adik Adam berarti? Jangan, jangan sampai terjadi! Sedangkan Arleen yang kupandang
hanya tersenyum malu menampakkan rona kemerahan di kedua pipinya. Sepertinya
Adam mulai membuat teorinya dan pada saat sudah pada titik kesimpulan mulailah
dia berkata, “Gila! Gara-gara ini abang gue sensi? Lo cemburu sama gue, Ga?”
Beberapa pengunjung menatap ke arah meja kami. Aku hanya
bisa menahan tangan untuk tidak menepuk kepala kosongnya itu. “Lin, lo harus
ngaku ke abang gue! Cepetan!”
“Maksud kalian apa? Saya bingung,” kataku menatap mereka
berdua dengan penuh tanda tanya. Satunya meringis ketawa ketiwi, satunya lagi
tersenyum malu-malu.
“Udah, Ga, nggak usah saya saya. Berasa ngomong sama bos
gue aja,” candanya. Melihat wanita di sampingnya yang tidak kunjung angkat
bicara, Adam pun mewakilkan, “Gini lho, abang gue terganteng. Gue sama Linlin
nggak pacaran atau apapun itu yang ada di pikiran lo.”
“Tapi kalian nonton bareng, terus lo juga makcomblangin
gue maksudnya apaan?” desakku pada mereka atau lebih tepatnya Adam.
“Nonton kapan? Sering kali, kita nonton, kan emang kalo
sama sahabat yang biasa dilakuin ya kalo nggak ngobrol ya nonton. Apa salahnya?
Oh pasti lo sotoy ya! Hahaha kasian kasian abang gue! Lah ini tadi gue samperin
emang mau gue makcomblangin eh malah jadinya begini.”
“Gue masih nggak paham. Terus pacar lo, Dam?,” kataku.
“Pacar gue lagi di negeri antah berantah, nggak kuat LDR
jadi putus deh. Nah gue sama Linlin murni dari dulu juga cuma sahabatan, malah
pengen gue ngejadiin dia adek gue.”
“Terus cium pipi tadi?”
“Dibilangin udah biasa kita gituan, biasa aja kali!
Linlin ini, yang dulu waktu SMP suka main ke rumah, yang lo ejekin jerawatan,”
kata Adam yang sontak membuatku teringat akan gadis remaja dengan banyak
jerawat di muka dan rambut dikuncir kuda. “Linlin juga udah dari kapan kali,
Ga, suka sama lo!”
Mendengar pengakuan Adam, membuat Arleen menyikut
perutnya dengan siku dan Adam mengaduh kesakitan.
“Jadi kamu Arleen. Ya Tuhan kenapa aku bisa lupa,” kataku
sambil menepuk kening.
“Ya lo kan pikun!”
“Diem lo!” bentakku pada Adam, lalu kembali lagi pada
Arleen, “Arleen, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu, sekarang kamu cantik
banget kok,” ujarku tanpa perlu menahan diri untuk merayunya.
“Udah deh gue tinggal kalian berdua,” kata Adam sambil
beranjak dari tempat duduknya lalu menepuk pundakku dan berkata, “Abang saya
sudah dewasa,” dan pergi sebelum berhasil aku lempar dengan sesuatu. Sangat
tidak sopan meniru gaya bicara kakaknya sendiri.
Kembali lagi ke hadapanku, akhirnya aku bisa mendekati
Arleen lagi dan semua kegelisahan sirna sudah. Seorang Agara Tanaka sudah tidak
sensitif lagi!
Ps : Ini adalah cerpen hasil kolaborasi aku dan via, fyi kita baru kenal loh saat nulis cerpen ini dan via itu keren bgt nulisnya.