Lautku
tak pernah diam
Tak
pernah dusta dan meninggalkan asa
Lautku
tak pernah berkata
Ia
hanya berdesir dengan ombak yang tak kunjung henti
Tak
banyak yang ku lakukan disini di sebuah tempat yang tak punya apa-apa hanya
bermain bersama pantai, menjadi anak pantai hitam legam dan sekali lagi tak
punya apa-apa bahkan listrik tak ada
disini, gelap ya gelap gulita. Kata ibu hanya sekolah yang akan menjadi
penerangnya. Entah ibuku berkata benar atau tidak. Aku hidup di sebuah desa
kecil di pinggiran pulau jawa di provinsi banten. Desaku memang dekat kota
namun alangkah ironisnya jika kau tau disini nyala lampu pun tak ada. Yang
terkenal disini hanya seorang penguasa perempuan yang dikenal akan kecantikan
dan kekayaannya. Kekayaan yang entah didapat lewat jalan apa orang bilang sih
korupsi.
“man, ayoo berangkat nanti kamu
kesiangan” suruh ibuku
“iya bu aku berangkat” kataku lalu
mencium tangan ibuku dan pergi
Sekolahku
memang berjarak 20 km dari rumahku di pesisir. Bagi kami masyarakat pesisir
berjalan jauh untuk sekolah itu sudah hal yang biasa. Oleh karena itu banyak
teman sebayaku yang tak meneruskan sekolah mereka meneruskan hidup menjadi
pelaut dengan turun temurun. Aku beruntung masih bisa bersekolah sampai tingkat
sekolah menengas atas, entah mengapa ibuku ingin sekali aku sekolah namun tidak
dengan ayahku entah mengapa juga ia tak pernah rela anaknya sekolah.
Setiap berangkat dan pulang aku
pasti berada dalam kegelapan, kegelapan ketika pagi menjelang dan kegelapan
ketika senja dan tanpa cahaya. Jalan-jalan itu gelap taka da cahaya di ujung
jalan karena aku tau taka da lampu di desa kami. Listrik belum masuk kesini.
PLN (Perusahaan Listrik Negara) pernah kesini namun tak melanjutkan
pembangunannya kembali. Hanya warga yang kaya yang mempunyai genset di rumah
yang dapat menghadirkan listirk dan kami para anak nelayan hanya dapat melihat
dari kejauhan cahaya itu karena kami tak pernah merasakan langsung
manfaatnya.
Terkadang
sang kaya baik hati meminjamkan rumahnya sebentar untuk kami para anak-anak
miskin pesisir menonton televisi. Miris rasanya padahal letak kami tak sebegitu
jauh dari ibu kota Negara ini
***
“Man
gimana, kamu ngelanjutin sekolah?” Tanya herwan teman baikku
“Kamu
sendiri gimana?” tanyaku balik
“enggak
man, aku tetap jadi nelayan. Atau bantu-bantu ibuku ngurusin rumput laut” jawab
herwan
“tapi
wan” kataku belum menerima
“hidup kita memang sudah di laut
man, terima saja itu nasibmu” kata herwan dengan penuh keyakinan
Aku pun terdiam dengan perkataan
teman baik ku itu. Menurutku kitalah yang harusnya jadi pemutus rantai itu.
Kita lah yang harus bergerak maju. Kamipun saling terdiam dengan pikiran
masing-masing. Dan bel sekolah berbunyi menandakan kami harus masuk kelas lagi.
“hari ini bapak ingin menyampaikan
berita baik. Teman kita ada yang mendapat undangan dari institute pertanian
bogor” kata pak guru mengawali kelas
“waah siapa yaaa” anak-anak kelas
mulai ramai tak sabar
“ yang mendapat undangan yaitu
lukman” kata pak guru
“ waah beneran pak?” tanyaku masih
tak percaya
“iya nanti pulang sekolah kamu ke
ruangan saya ya untuk mengisi berkas-berkasnya”
“Siap pak”
“waaah selamat yaa man” kata herwan
dan dilanjutkan teman-teman sekelas
Sepulang sekolah aku riang bukan
kepalang, aku berkesempatan untuk kuliah. Satu hal yang tak terbayangkan dari
seorang anak nelayan sepertiku. Aku akan merantau dan memperbaiki semuanya. Aku
akan mengubah nasib anak-anak pesisir. Semuanya akan lebih bercahaya.
***
“bu, bu, aku dapet undangan” kataku
riang sambil mencari-cari ibu
“hah, apa itu?” kata ibuku bingung
“jadi aku bisa kuliah bu, aku bisa
kuliah di bogor” kataku senang
“syukur lah coba kamu bilang sama
ayahmu” kata ibu turut senang
Tiba-tiba dari depan pintu munculah
ayah dengan beberapa tangkapan ikan hari ini
“eh, lukman udah pulang sekolah,
besok bantu ayah ya melaut” suruh ayahku
“tapi aku harus sekolah yah” jawabku
pelan
Suasana
sempat hening sampai ibuku datang menghampiri ayah “ yah, si lukman dapet
undangan dari sekolahnya. Katanya dia bisa kuliah di bogor”
“bener man?” Tanya ayah sambil
mengkerutku dahinya
“iya yah. Lukman bisa kuliah”
“ buat apa man kamu sekolah, kuliah
buat apa kita ini nelayan rejeki kita ya di laut”
“tapi yah lukman bisa mengubah
keadaan kita” kataku bersikeras
“kita tetap nelayan man jangan
lupakan hal itu”
Aku termenung ingin rasanya aku
teriak mengungkapkan segala perasaan ku. Aku ingin sekolah aku ingin bisa
kuliah. Membangun desa tanpa nyala lampu ini. Aku ingin mengubah semuanya. Tapi
tak ada yang bisa ku lakukan atau mungkin.
***
Rasanya belum berapa lama aku
meninggalkan desa ini, meninggalkan desa kelahiran dengan semua kisahnya yang
ada. Aku kembali bukan karena aku telah sukses, bukan juga karena aku sudah
punya tujuan, bukan. Aku hanya mampu bertahan 4 semester di Bogor dan harus
menanggung malu untuk pulang. Aku datang karena ayahku. Ayahku yang seorang
pelaut harus kehilangan nyawa di tengah laut. Aku harus kembali mengarungi
lautan dan untuk memenuhi ibu dan adik-adikku.
“man kau kembali?” Tanya herwan
“iya” jawabku singkat
“jadi apa kau sekarang? Dapet apa
kau disana?” Tanya herwan lagi
“aku kesini untuk melaut” jawabku
pendek lalu pergi dengan kapal dan jarring di tangan
Aku kembali menjadi nelayan seperti
ayah, kakek dan mungkin kakek buyudku. Menutup telinga dari cibiran tetangga
dan warga desa. Menutup mata dari kejamnya kehidupan pesisir. Entah apa yang
diinginkan sang pencipta
Angin
laut telah membawaku ke darat menepikan kapal kecilku dan mendaratkan hasil
tangkapanku. Menjualnya ke tempat pelelangan ikan kecil di sudut desa lalu
mendapat upah dari itu. Hal itulah yang kulakukan berulang kali disini menjadi
seorang nelayan dan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin aku tak merasakan
lagi gelapnya rumah karena kini berganti dengan gelapnya malam di laut. Mungkin
adik-adik dan ibuku yang merasakannya di rumah.
Hari
ini aku pulang ke rumah dengan sisa tangkapan ikan kecil untuk orang rumah.
Malam kemarin laut sedang tidak bersahabat.
“man,
sudah pulang?” Tanya ibuku
“iya
nih bu, ini ada sisa ikan buat dimasak. Oya mana sukma dan deni?” Tanya ku
“masih
sekolah mereka” jawab ibu ku lalu mengambil ikan sisa tangkapanku
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku pun dengan sigap pergi ke arah
pintu dan membukakannya
“lukmaaan” teriak seseorang lalu
memelukku
“ baguus” kataku tak mau kalah
“ada apa bisa sampai kesini? Mari
duduk” tanyaku heran. Lalu aku mengajaknya ke ruang tamu kecil dengan bangku
seadanya di rumahku.
“ingin mengunjungimu saja. Aku
sempat teringat ceritamu saat dulu. Sayang sekali kamu tak bisa melanjutkan
hingga selesai” kata bagus mengawali. Bagus adalah teman se departemenku waktu
di Institut Pertanian Bogor
“yah begitulah hidup” kataku sambil
tersenyum “ada apa ya?”
“jadi begini. Kamu ingat pelajaran
bioenergy dulu? Yaa aku ingin mengembangkan potensi rumput laut disini.
Daerahmu terkenal dengan rumput lautnya bukan?”
“iyaa rumput laut kita memang
terkenal sampai ada pabrik baru disini”
“nah aku ingin mewujudkan
cita-citamu aku ingin membuat desamu ini tak gelap gulita lagi ketika malam.
Aku sudah survey kemarin dan memang benar saat malam desa ini seperti tak
berpenghuni hahaha” kata bagus sambil tertawa
“hahaha. Memang begitu disini.
Benarkah? Aku akan dukung dan membantumu sebisaku”
“iya kita akan membuat biogas dari
rumput laut dan mengembangkan desa ini”
“baiklah kita akan mulai dari
sosialisasi warga terlebih dahulu” kataku lalu bersalaman dengan bagus
***
“bu, tau gak ya disini mau ngapain?”
“Gak tau kita dikumpuli aja sama si
lukman, gak tau deh ada apa ya”
Desas-desus
ibu-ibu di balai desa setelah dikumpulkan. Ada yang senang tapi lebih banyak
yang ngedumel karena menganggu jam tidur siang mereka.
“selamat siang bu” kataku mengawali “hari
ini kita kedatangan tamu dari Bogor, beliau ini mau buat desa kita terang saat
malam”
“perkenalkan saya bagus, temannya
lukman waktu di bogor” bagus memperkenalkan diri
“beliau ini udah sarjana jadi pasti
bisa bikin desa kita jadi terang”
“gimana caranya man? Mau dipasangin
listrik dari dulu kita udah minta kan tapi gak pernah dipasang juga sama PLN”
kata warga desa
“iya man lagi juga bayar listrik
mahal, saya gak sanggup deh” sambung yang lain
“ iya man, gak deh” sambung warga
lalu warga ramai berdiskusi
“tenang, ibu-ibu saya tidak akan
memasang PLN kita ingin membuat listrik dari rumput laut” kataku coba
menenangkan warga
Ternyata
warga malah semakin ramai mereka tak percaya bahwa rumput laut dapat menjadi
biogas yang akan menyalakan lampu.
“tenang ibu-ibu semuanya kita gak
akan pakai semua rumput laut hanya sisa-sisa yang tidak termanfaatkan saja.
Jadi nanti kita akan buat pengumpulan rumput laut dan kita buat penampung dan
nantinya akan kita fermentasikan dan menjadi biogas” kata bagus menjelaskan
“waah apa lagi tuh?” Tanya warga
semakin bingung
“jadi tenang saja semuanya nanti itu
kita yang akan bikin. Jadi semuanya tinggal mengumpulkan rumput laut dan nanti
di desa kita akan terang” jelas ku lagi
“man, kamu bisa jamin gak kita bakal
punya lampu?” Tanya salah seorang warga
“saya dan teman saya akan menjamin itu.
Kalau desa kita akan penuh cahaya saat malam” kataku meyakinkan
“yaudah kalo gitu aku setuju, aku
bantu man”
“iya saya juga bakal bantu
“saya juga” akhirnya para warga
menyetujui kegiatan ini
Setelah mendapat persetujuan warga
aku dan bagus berjuang untuk membuat segala yang diperlukan untuk biogas ini.
Kami membangun tempat penampungan dan tiap hari berkunjung ke warga untuk
menjelaskan progam kami. Walau mendapat persetujuan di balai desa tidak
langsung memudahkan langkah kami. Banyak warga desa yang juga terang-terangan
menolak kegiatan ini. Tak segan aku dan bagus dimarahi dan menjadi cibiran di
desa.
Aku mengalami pasang surut kehidupan
apalagi sejak kematian ayahku yang nelayan dan aku harus menjadi tulang
punggung keluarga. Tak jarang aku mendengar cibiran warga tentangku apalagi
setelah aku yang harus pulang kembali
dan hanya menanggung malu dari Bogor. Tapi aku yakin inilah saatnya.
Bak penampungan rumput laut sudah
terbuat, rumput laut sedikit demi sedikit sudah disetor oleh warga. Aku dengan
sedikit ilmu ku dibantu Bagus berusaha mewujudka cahaya di desa ini. Berusaha
mewujudkan sepenggal kisah perubahan untuk desaku
“man, gimana, mana lampunya gak
nyala-nyala nih?” protes seorang warga
“sabar pak” kataku coba meneangkan
“ah tau gitu rumput lautnya tak jual
semua”
“sebentar lagi ya pak”
Keluhan demi keluhan datang silih
berganti warga semakin tak percaya, padahal ini semua butuh waktu. Butuh waktu
untuk memasang instalasi ke rumah-rumah. Dan butuh waktu untuk membuat
penampungan ini terfermentasi dan menjadikan biogas.
***
“ka, lukman teman-teman aku masa gak
percaya kalo kaka bisa bikin lampu nyala” kata deni. Adikku yang paling bungsu
“tenang aja den, nanti kakak
buktiiin yak e temn-temen kamu kalo nanti lampu bisa nyala. Nanti desa kita
bisa jadi terang” jawabku meyakinkan
“jangan ganggu kakak kamu den” kata
ibu ku
“gapapa bu, anak kecil emang suka
penasaran” jawabku sambil tersenyum
Raut mukaku tersenyum namun hati dan
perasaan mungkin tak bisa berbohong aku pun cemas mengapa biogas ini belum
berhasil. Bagus mengatakan kalau kita masih kurang bakteri tapi entahlah aku
memang kurang paham. Yang aku paham adalah ketidakpercayaan warga yang kian
menjadi. Warga masih butuh banyak pembelajaran untuk mengetahui kalau proses
itu tidak pernah semudah itu. Di satu sisi Bagus pun mulai tak yakin akan
proyeknya.
“Man, aku rasa proyek ini harus
berakhir” kata Bagus bimbang
“kenapa begitu?” tanyaku heran
“sudah lebih dari 6 bulan dan
hasilnya masih nihil” kata bagus pasrah
“kita harus tetap berjuang. Kita
harus menyelesaikannya, aku yakin sebentar lagi” kataku coba meyakinkan
“energy ini belum mampu untuk
menghidupi desa, setidaknya kita butuh lebih banyak rumput laut lagi, dan warga
sudah bosan”
“ setidaknya kita harus tetap
berusaha. Ini baru 6 bulan kau tau kami telah menanggung gelap gulita ini lebih
dari 6 tahun bahkan sudah lebih dari 60 tahun”
“aku akan berusaha lebih keras lagi.
Ini cita-citaku dari kecil jangan biarkan semua ini berakhir. Kita butuh
cahaya” kataku lalu pergi meninggalkan bagus
Semenjak kejadian itu kami berusaha
lebih giat untuk membuat yang kami bisa dan mencoba membujuk warga yang tidak
mau bergabung. aku berusaha lebih keras dan lebih keras lagi aku yakin cahaya
itu akan tiba.
***
“lampu
sudah menyala” ungkap salah seorang warga
“waah makasih yaa, sekarang
anak-anak udah bisa belajar kalo malem” tambah yang lain
Cahaya itu datang, cahaya itu telah ada
menyusuri desaku kini. Walaupun cahaya ini masih redup tapi setidaknya dengan
cahaya yang masih redup ini anak-anak sudah dapat belajar ketika malam. Desa
ini sudah seperti ada kehidupan lagi saat malam. Secercah cahaya itu sudah
datang ke hati dan ke ruang- ruang di desa ini. Tak perlu takut akan kegelapan
lagi ketika malam menjelang. Setelah lampu sudah mulai menyala para wargapun semakin
antusias membantu dan bergotong royong untuk semakin memancarkan cahayanya.
Kini di ujung-ujung jalan itu tak hanya sang kaya yang dapat menikmati indahnya
cahaya. Akupun kini tersenyum di ujung jalan ini.
Lautku
akan tiba waktunya
Waktu
dimana cahaya itu akan tiba
Cahaya
itu telah datang
Datang
dari kamu yang tak pernah kusangka
Ketika 2 jam dipaksa untuk berkarya dan hasilnya seperti ini lah hehe :D
JUARA 2 TULIS CERPEN FMAC 2015
JUARA 2 TULIS CERPEN FMAC 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar