Senin, 13 April 2015

Cahaya di Ujung Jalan


Lautku tak pernah diam
Tak pernah dusta dan meninggalkan asa
Lautku tak pernah berkata
Ia hanya berdesir dengan ombak yang tak kunjung henti
           
Tak banyak yang ku lakukan disini di sebuah tempat yang tak punya apa-apa hanya bermain bersama pantai, menjadi anak pantai hitam legam dan sekali lagi tak punya apa-apa bahkan listrik tak  ada disini, gelap ya gelap gulita. Kata ibu hanya sekolah yang akan menjadi penerangnya. Entah ibuku berkata benar atau tidak. Aku hidup di sebuah desa kecil di pinggiran pulau jawa di provinsi banten. Desaku memang dekat kota namun alangkah ironisnya jika kau tau disini nyala lampu pun tak ada. Yang terkenal disini hanya seorang penguasa perempuan yang dikenal akan kecantikan dan kekayaannya. Kekayaan yang entah didapat lewat jalan apa orang bilang sih korupsi.
            “man, ayoo berangkat nanti kamu kesiangan” suruh ibuku
            “iya bu aku berangkat” kataku lalu mencium tangan ibuku dan pergi
Sekolahku memang berjarak 20 km dari rumahku di pesisir. Bagi kami masyarakat pesisir berjalan jauh untuk sekolah itu sudah hal yang biasa. Oleh karena itu banyak teman sebayaku yang tak meneruskan sekolah mereka meneruskan hidup menjadi pelaut dengan turun temurun. Aku beruntung masih bisa bersekolah sampai tingkat sekolah menengas atas, entah mengapa ibuku ingin sekali aku sekolah namun tidak dengan ayahku entah mengapa juga ia tak pernah rela anaknya sekolah.
            Setiap berangkat dan pulang aku pasti berada dalam kegelapan, kegelapan ketika pagi menjelang dan kegelapan ketika senja dan tanpa cahaya. Jalan-jalan itu gelap taka da cahaya di ujung jalan karena aku tau taka da lampu di desa kami. Listrik belum masuk kesini. PLN (Perusahaan Listrik Negara) pernah kesini namun tak melanjutkan pembangunannya kembali. Hanya warga yang kaya yang mempunyai genset di rumah yang dapat menghadirkan listirk dan kami para anak nelayan hanya dapat melihat dari kejauhan cahaya itu karena kami tak pernah merasakan langsung manfaatnya.   
Terkadang sang kaya baik hati meminjamkan rumahnya sebentar untuk kami para anak-anak miskin pesisir menonton televisi. Miris rasanya padahal letak kami tak sebegitu jauh dari ibu kota Negara ini
***
“Man gimana, kamu ngelanjutin sekolah?” Tanya herwan teman baikku
“Kamu sendiri gimana?” tanyaku balik
“enggak man, aku tetap jadi nelayan. Atau bantu-bantu ibuku ngurusin rumput laut” jawab herwan
“tapi wan” kataku belum menerima
            “hidup kita memang sudah di laut man, terima saja itu nasibmu” kata herwan dengan penuh keyakinan
            Aku pun terdiam dengan perkataan teman baik ku itu. Menurutku kitalah yang harusnya jadi pemutus rantai itu. Kita lah yang harus bergerak maju. Kamipun saling terdiam dengan pikiran masing-masing. Dan bel sekolah berbunyi menandakan kami harus masuk kelas lagi.
            “hari ini bapak ingin menyampaikan berita baik. Teman kita ada yang mendapat undangan dari institute pertanian bogor” kata pak guru mengawali kelas
            “waah siapa yaaa” anak-anak kelas mulai ramai tak sabar
            “ yang mendapat undangan yaitu lukman” kata pak guru
            “ waah beneran pak?” tanyaku masih tak percaya
            “iya nanti pulang sekolah kamu ke ruangan saya ya untuk mengisi berkas-berkasnya”
            “Siap pak”
            “waaah selamat yaa man” kata herwan dan dilanjutkan teman-teman sekelas
            Sepulang sekolah aku riang bukan kepalang, aku berkesempatan untuk kuliah. Satu hal yang tak terbayangkan dari seorang anak nelayan sepertiku. Aku akan merantau dan memperbaiki semuanya. Aku akan mengubah nasib anak-anak pesisir. Semuanya akan lebih bercahaya.
***
            “bu, bu, aku dapet undangan” kataku riang sambil mencari-cari ibu
            “hah, apa itu?” kata ibuku bingung
            “jadi aku bisa kuliah bu, aku bisa kuliah di bogor” kataku senang
            “syukur lah coba kamu bilang sama ayahmu” kata ibu turut senang
            Tiba-tiba dari depan pintu munculah ayah dengan beberapa tangkapan ikan hari ini
            “eh, lukman udah pulang sekolah, besok bantu ayah ya melaut” suruh ayahku
            “tapi aku harus sekolah yah” jawabku pelan
Suasana sempat hening sampai ibuku datang menghampiri ayah “ yah, si lukman dapet undangan dari sekolahnya. Katanya dia bisa kuliah di bogor”
            “bener man?” Tanya ayah sambil mengkerutku dahinya
            “iya yah. Lukman bisa kuliah”
            “ buat apa man kamu sekolah, kuliah buat apa kita ini nelayan rejeki kita ya di laut”
            “tapi yah lukman bisa mengubah keadaan kita” kataku bersikeras
            “kita tetap nelayan man jangan lupakan hal itu”
            Aku termenung ingin rasanya aku teriak mengungkapkan segala perasaan ku. Aku ingin sekolah aku ingin bisa kuliah. Membangun desa tanpa nyala lampu ini. Aku ingin mengubah semuanya. Tapi tak ada yang bisa ku lakukan atau mungkin.
***
            Rasanya belum berapa lama aku meninggalkan desa ini, meninggalkan desa kelahiran dengan semua kisahnya yang ada. Aku kembali bukan karena aku telah sukses, bukan juga karena aku sudah punya tujuan, bukan. Aku hanya mampu bertahan 4 semester di Bogor dan harus menanggung malu untuk pulang. Aku datang karena ayahku. Ayahku yang seorang pelaut harus kehilangan nyawa di tengah laut. Aku harus kembali mengarungi lautan dan untuk memenuhi ibu dan adik-adikku.
            “man kau kembali?” Tanya herwan
            “iya” jawabku singkat
            “jadi apa kau sekarang? Dapet apa kau disana?” Tanya herwan lagi
            “aku kesini untuk melaut” jawabku pendek lalu pergi dengan kapal dan jarring di tangan
            Aku kembali menjadi nelayan seperti ayah, kakek dan mungkin kakek buyudku. Menutup telinga dari cibiran tetangga dan warga desa. Menutup mata dari kejamnya kehidupan pesisir. Entah apa yang diinginkan sang pencipta
Angin laut telah membawaku ke darat menepikan kapal kecilku dan mendaratkan hasil tangkapanku. Menjualnya ke tempat pelelangan ikan kecil di sudut desa lalu mendapat upah dari itu. Hal itulah yang kulakukan berulang kali disini menjadi seorang nelayan dan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin aku tak merasakan lagi gelapnya rumah karena kini berganti dengan gelapnya malam di laut. Mungkin adik-adik dan ibuku yang merasakannya di rumah.
Hari ini aku pulang ke rumah dengan sisa tangkapan ikan kecil untuk orang rumah. Malam kemarin laut sedang tidak bersahabat.
“man, sudah pulang?” Tanya ibuku
“iya nih bu, ini ada sisa ikan buat dimasak. Oya mana sukma dan deni?” Tanya ku
“masih sekolah mereka” jawab ibu ku lalu mengambil ikan sisa tangkapanku
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku pun dengan sigap pergi ke arah pintu dan membukakannya
            “lukmaaan” teriak seseorang lalu memelukku
            “ baguus”  kataku tak mau kalah
            “ada apa bisa sampai kesini? Mari duduk” tanyaku heran. Lalu aku mengajaknya ke ruang tamu kecil dengan bangku seadanya di rumahku.
            “ingin mengunjungimu saja. Aku sempat teringat ceritamu saat dulu. Sayang sekali kamu tak bisa melanjutkan hingga selesai” kata bagus mengawali. Bagus adalah teman se departemenku waktu di Institut Pertanian Bogor
            “yah begitulah hidup” kataku sambil tersenyum “ada apa ya?”
            “jadi begini. Kamu ingat pelajaran bioenergy dulu? Yaa aku ingin mengembangkan potensi rumput laut disini. Daerahmu terkenal dengan rumput lautnya bukan?”
            “iyaa rumput laut kita memang terkenal sampai ada pabrik baru disini”
            “nah aku ingin mewujudkan cita-citamu aku ingin membuat desamu ini tak gelap gulita lagi ketika malam. Aku sudah survey kemarin dan memang benar saat malam desa ini seperti tak berpenghuni hahaha” kata bagus sambil tertawa
            “hahaha. Memang begitu disini. Benarkah? Aku akan dukung dan membantumu sebisaku”
            “iya kita akan membuat biogas dari rumput laut dan mengembangkan desa ini”
            “baiklah kita akan mulai dari sosialisasi warga terlebih dahulu” kataku lalu bersalaman dengan bagus
***
            “bu, tau gak ya disini mau ngapain?”
            “Gak tau kita dikumpuli aja sama si lukman, gak tau deh ada apa ya”
Desas-desus ibu-ibu di balai desa setelah dikumpulkan. Ada yang senang tapi lebih banyak yang ngedumel karena menganggu jam tidur siang mereka.
            “selamat siang bu” kataku mengawali “hari ini kita kedatangan tamu dari Bogor, beliau ini mau buat desa kita terang saat malam”
            “perkenalkan saya bagus, temannya lukman waktu di bogor” bagus memperkenalkan diri
            “beliau ini udah sarjana jadi pasti bisa bikin desa kita jadi terang”
            “gimana caranya man? Mau dipasangin listrik dari dulu kita udah minta kan tapi gak pernah dipasang juga sama PLN” kata warga desa
            “iya man lagi juga bayar listrik mahal, saya gak sanggup deh” sambung yang lain
            “ iya man, gak deh” sambung warga lalu warga ramai berdiskusi
            “tenang, ibu-ibu saya tidak akan memasang PLN kita ingin membuat listrik dari rumput laut” kataku coba menenangkan warga
Ternyata warga malah semakin ramai mereka tak percaya bahwa rumput laut dapat menjadi biogas yang akan menyalakan lampu.
            “tenang ibu-ibu semuanya kita gak akan pakai semua rumput laut hanya sisa-sisa yang tidak termanfaatkan saja. Jadi nanti kita akan buat pengumpulan rumput laut dan kita buat penampung dan nantinya akan kita fermentasikan dan menjadi biogas” kata bagus menjelaskan
            “waah apa lagi tuh?” Tanya warga semakin bingung
            “jadi tenang saja semuanya nanti itu kita yang akan bikin. Jadi semuanya tinggal mengumpulkan rumput laut dan nanti di desa kita akan terang” jelas ku lagi
            “man, kamu bisa jamin gak kita bakal punya lampu?” Tanya salah seorang warga
            “saya dan teman saya akan menjamin itu. Kalau desa kita akan penuh cahaya saat malam” kataku meyakinkan
            “yaudah kalo gitu aku setuju, aku bantu man”
            “iya saya juga bakal bantu
            “saya juga” akhirnya para warga menyetujui kegiatan ini
            Setelah mendapat persetujuan warga aku dan bagus berjuang untuk membuat segala yang diperlukan untuk biogas ini. Kami membangun tempat penampungan dan tiap hari berkunjung ke warga untuk menjelaskan progam kami. Walau mendapat persetujuan di balai desa tidak langsung memudahkan langkah kami. Banyak warga desa yang juga terang-terangan menolak kegiatan ini. Tak segan aku dan bagus dimarahi dan menjadi cibiran di desa.
            Aku mengalami pasang surut kehidupan apalagi sejak kematian ayahku yang nelayan dan aku harus menjadi tulang punggung keluarga. Tak jarang aku mendengar cibiran warga tentangku apalagi setelah aku yang  harus pulang kembali dan hanya menanggung malu dari Bogor. Tapi aku yakin inilah saatnya.
            Bak penampungan rumput laut sudah terbuat, rumput laut sedikit demi sedikit sudah disetor oleh warga. Aku dengan sedikit ilmu ku dibantu Bagus berusaha mewujudka cahaya di desa ini. Berusaha mewujudkan sepenggal kisah perubahan untuk desaku
            “man, gimana, mana lampunya gak nyala-nyala nih?” protes seorang warga
            “sabar pak” kataku coba meneangkan
            “ah tau gitu rumput lautnya tak jual semua”
            “sebentar lagi ya pak”
            Keluhan demi keluhan datang silih berganti warga semakin tak percaya, padahal ini semua butuh waktu. Butuh waktu untuk memasang instalasi ke rumah-rumah. Dan butuh waktu untuk membuat penampungan ini terfermentasi dan menjadikan biogas.
***
            “ka, lukman teman-teman aku masa gak percaya kalo kaka bisa bikin lampu nyala” kata deni. Adikku yang paling bungsu
            “tenang aja den, nanti kakak buktiiin yak e temn-temen kamu kalo nanti lampu bisa nyala. Nanti desa kita bisa jadi terang” jawabku meyakinkan
            “jangan ganggu kakak kamu den” kata ibu ku
            “gapapa bu, anak kecil emang suka penasaran” jawabku sambil tersenyum
            Raut mukaku tersenyum namun hati dan perasaan mungkin tak bisa berbohong aku pun cemas mengapa biogas ini belum berhasil. Bagus mengatakan kalau kita masih kurang bakteri tapi entahlah aku memang kurang paham. Yang aku paham adalah ketidakpercayaan warga yang kian menjadi. Warga masih butuh banyak pembelajaran untuk mengetahui kalau proses itu tidak pernah semudah itu. Di satu sisi Bagus pun mulai tak yakin akan proyeknya.
            “Man, aku rasa proyek ini harus berakhir” kata Bagus bimbang
            “kenapa begitu?” tanyaku heran
            “sudah lebih dari 6 bulan dan hasilnya masih nihil” kata bagus pasrah
            “kita harus tetap berjuang. Kita harus menyelesaikannya, aku yakin sebentar lagi” kataku coba meyakinkan
            “energy ini belum mampu untuk menghidupi desa, setidaknya kita butuh lebih banyak rumput laut lagi, dan warga sudah bosan”
            “ setidaknya kita harus tetap berusaha. Ini baru 6 bulan kau tau kami telah menanggung gelap gulita ini lebih dari 6 tahun bahkan sudah lebih dari 60 tahun”
            “aku akan berusaha lebih keras lagi. Ini cita-citaku dari kecil jangan biarkan semua ini berakhir. Kita butuh cahaya” kataku lalu pergi meninggalkan bagus
            Semenjak kejadian itu kami berusaha lebih giat untuk membuat yang kami bisa dan mencoba membujuk warga yang tidak mau bergabung. aku berusaha lebih keras dan lebih keras lagi aku yakin cahaya itu akan tiba. 
***
“lampu sudah menyala” ungkap salah seorang warga
            “waah makasih yaa, sekarang anak-anak udah bisa belajar kalo malem” tambah yang lain
            Cahaya itu datang, cahaya itu telah ada menyusuri desaku kini. Walaupun cahaya ini masih redup tapi setidaknya dengan cahaya yang masih redup ini anak-anak sudah dapat belajar ketika malam. Desa ini sudah seperti ada kehidupan lagi saat malam. Secercah cahaya itu sudah datang ke hati dan ke ruang- ruang di desa ini. Tak perlu takut akan kegelapan lagi ketika malam menjelang. Setelah lampu sudah mulai menyala para wargapun semakin antusias membantu dan bergotong royong untuk semakin memancarkan cahayanya. Kini di ujung-ujung jalan itu tak hanya sang kaya yang dapat menikmati indahnya cahaya. Akupun kini tersenyum di ujung jalan ini.

Lautku akan tiba waktunya
Waktu dimana cahaya itu akan tiba
Cahaya itu telah datang

Datang dari kamu yang tak pernah kusangka 

Ketika 2 jam dipaksa untuk berkarya dan hasilnya seperti ini lah hehe :D
JUARA 2 TULIS CERPEN FMAC 2015